Serba-Serbi

“Perlukah Video Klarifikasi?”

Based on Film Budi Pekerti

Belum sempat untuk menonton Film Petualangan Sherina 2, ternyata ada satu film yang langsung membuat saya penasaran seketika gara-gara melihat postingan seorang teman di Instagram. Segera kemudian saya meluncur ke kanal Youtube untuk nonton trailer Film Budi Pekerti. Ternyata Budi Pekerti atau Andragogy (title Bahasa Inggris-nya) adalah sebuah film yang betul-betul sangat relevan dijaman sekarang.

Film ini mengangkat tema tentang Cancel Culture atau Boikot yang dialami oleh seorang ibu bernama bu Prani seorang guru BK (Bimbingan Konseling) di sebuah sekolah di Yogyakarta. Kisah ini dimulai dari ramainya netizen salah mengartikan ucapan bu Prani disebuah video yang mengatakan “ah suwi” (ah lama) terdengar seperti “asuiii” (anjing) saat protes antriannya membeli putu diserobot orang. Persepsi “asuii” terus bergulir hanya dalam hitungan hari. Hingga orang-orang disekitar bu Prani seperti murid-murid, guru-guru lain dan pemilik Yayasan akhirnya mengetahui.

Video-video seperti kejadian bu Prani kita jumpai di akun sosial media hampir setiap saat. Cuplikan video 15-20 detik seperti orang yang sedang berkelahi atau ribut, seorang ibu yang sedih karena anaknya ditangkap polisi serta video trending para politikus atau artis yang sengaja dipotong sehingga menimbulkan persepsi yang keliru dan lain sebagainya. Netizen akan dengan sangat mudah menghakimi orang tersebut tanpa tahu latar belakang kemarahan orang itu atau kejadian yang utuh yang sebenarnya terjadi pada saat itu.

Banyaknya perselisihan orang-orang dimulai dari beredarnya artikel tanpa sumber yang jelas dibagikan di grup Whatsapp baik itu circle keluarga, pertemanan sampai alumni sekolah, yang akhirnya tidak sedikit berujung pada left grup atau berhenti berteman. Hal ini kemudian diperparah dengan maraknya video suntingan 15-20 detik viral yang diupload oleh netizen dengan tidak bertanggung jawab atau tanpa menggunakan etika.

Atas dasar fenomena-fenomena tersebut, sutradara muda yang berbakat bernama Wregas Bhanuteja akhirnya membuat film Budi Pekerti. Dimainkan oleh aktor-aktor kawakan seperi Dwi Sasono (Pak Didit), She Ine Febriyanti (Bu Prani), Prilly Latuconsina (Tita) dan Angga Yunanda (Muklas). Tercatat Budi Pekerti sudah tampil di festival fim Toronto serta mendapatkan 17 nominasi Piala Citra.

Ekspektasi saya berubah jauh setelah menonton film Budi Pekerti. Karena malam hari sebelum menonton, saya terlebih dulu menonton beberapa podcast promosi film dengan menghadirkan para pemain dan sang sutradaranya. Namun ternyata, bayangan saya akan film ini terlalu dangkal. Alur cerita dibuat oleh Wregas sedemikian rupa sehingga menggambarkan kejadian penuh yang sesungguhnya terjadi dibalik video 15-20 detik yang viral itu.

Dalam Film Budi Pekerti, digambarkan situasi mulai keruh ketika anak laki-laki bu Prani, Muklas tidak mengakui kalo bu Prani adalah ibunya pada saat ia live Instagram. Netizen yang maha pintar dan maha benar akhirnya dengan cepat mengetahui kalo Muklas berbohong. Tekanan netizen akhirnya memaksa Muklas melakukan klarifikasi bersama dengan bu Prani. Klarifikasi tersebut dilakukan karena demi mempertahankan endorsement-endorsement Muklas sebagai salah satu influencer yang sedang melejit. Meskipun ia melakukan klarifikasi, namun sebenarnya itu merupakan pernyataan yang tidak jujur karena dia mengaku tidak mengenali ibunya dalam video. Pengakuan Muklas ia tidak mengenali ibunya karena ukuran gambar video yang kecil dan karena bu Prani sedang menggunakan masker.

Video klarifikasi demi klarifikasi termasuk support yang besar dari para alumni sekolah terus beredar di media sosial untuk membela bu Prani sebagai guru BK. Para alumni sekolah masing-masing bercerita tentang pengganti hukuman dari bu Prani yang berupa refleksi-refleksi yang sarat mengandung makna baik. Butuh perjuangan yang sangat keras bagi Muklas dan Tita membantu ibunya dengan cara menemui orang-orang yang mau bersaksi atas bu Prani. Setelah itu untuk beberapa saat, situasi menjadi aman terkendali, semua kembali seperti biasa bahkan setiap anggota keluarga tersebut bernasib lebih baik.

Tetapi, bu Prani kembali menjadi viral saat netizen menemukan video pernyataan salah seorang mantan murid bu Prani yang bernama Gora. Gora pernah mendapatkan refleksi karena terancam DO sebab telah memukul temannya. Refleksi dari bu Prani adalah meminta Gora untuk ikut menggali kubur di kuburan selama beberapa hari. Pemberian “tugas” untuk menggali kubur tersebut dipandang sangat melenceng di dunia pendidikan oleh netizen. Hal ini diperparah dengan rumor bahwa selama ini Gora rutin berkonsultasi ke psikolog. Situasi kembali rumit dan menjadi tidak terkendali. Yayasan sekolah mendorong bu Prani dan Gora untuk melakukan klarifikasi bahwa refleksi dari bu Prani tersebut tidak berdampak buruk terhadap Gora.

Pada hari yang telah ditentukan oleh sekolah, Gora akhirnya sepakat untuk melakukan rekaman klarifikasi. Tetapi kemudian dia menjadi ragu dan memilih berdiam diri dan berpikir sembari berendam di sebuah kolam hias di dekat toilet sekolah. Dari situ dia mengaku kepada bu Prani bahwa berkat refleksi itu dia menemukan ketenangan saat berada di kuburan, bahwa sesungguhnya ia sangat menikmati kesendiriannya. Bahkan dia berpindah-pindah kuburan untuk mencari sensasi rasa. Namun, refleksi itu juga menjadi penyebab ia rutin ke psikolog karena Gora takut apakah orang-orang akan mau menganggap wajar hobinya “mendatangi kuburan”.

Namun akhirnya klarifikasi itu urung dilakukan Gora karena bu Prani tidak ingin mantan muridnya berbohong. Film ditutup dengan mengalahnya bu Prani dengan mengundurkan diri dari sekolah dan kemudian mereka sekeluarga memilih untuk pindah keluar kota. Di kehidupan nyata, kita sangat tahu tidak banyak orang yang berani bersikap seperti bu Prani. Kebanyakan orang akan melakukan apa saja demi kepentingan pribadi atau kepentingan institusinya.

Setelah selesai menonton film ini saya tersadar sebenarnya video-video klarifikasi yang sering kita lihat itu apakah benar adanya? Atau dibuat demi memuaskan rasa penasaran atau mendapatkan pengakuan netizen? Karena terlepas dari benar atau tidak klarifikasi tersebut, pasti akan selalu ada dua pandangan yang berbeda. Kalau saja bu Prani mengikuti saran dari kepala sekolahnya untuk membuat klarifikasi terbatas saja? Atau jika saja bu Prani tidak membuka akun sosial medianya dari privat ke publik? Mungkin dampak video marah-marah bu Prani tidak akan menjadi bola liar yang berkepanjangan.

Prilly Latuconsina pemeran Tita anak dari Bu Prani sendiri menuturkan bahwa ia akan selalu cemas ketika dirinya sewaktu-waktu menjadi trending disebuah media sosial. Lalu bagaimana jika yang viral itu adalah orang biasa seperti kita atau bu Prani yang akhirnya terpaksa pindah dari Jogja?

Kita sebaiknya tidak boleh terjebak dengan persepsi  yang sama dengan Muklas bahwa Kebenaran itu adalah milik orang-orang yang banyak bicara? (Salah opo bener ki ming perkoro sopo sing paling akeh ngomong). Karena itu tidak selalu benar. Terkadang diam menjadi emas daripada berbicara banyak justru akan menyakitkan banyak orang.   

Perempuan biasa yang hobi baca tapi banyak buku dirumah yang belum selesai dibaca dan sekarang mencoba belajar menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.